Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERSENTASE RETURN SAHAM SEKTOR INFRASTRUKTUR, UTILITAS, DAN TRANSPORTASI TAHUN 2010-2016

PERSENTASE RETURN SAHAM SEKTOR INFRASTRUKTUR, UTILITAS, DAN TRANSPORTASI TAHUN 2010-2016

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

 Pada hakekatnya, tujuan perusahaan ialah untuk memaksimalkan kinerja dalam memenuhi aktivitas operasinya dengan memaksimalkan tingkat keuntungan. Hal ini perlu dilakukan perusahaan agar menjadi pusat perhatian para investor di pasar modal. Menurut Tandelilin (2010:26), pasar modal merupakan pertemuan antara pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana dengan cara memperjualbelikan sekuritas. 

Pasar modal menyediakan alternatif investasi bagi para investor. Investasi yang dapat dilakukan oleh para investor ialah berupa instrumen jangka panjang seperti kepemilikan saham, obligasi, reksadana, dan lainnya. Salah satu investasi yang paling diminati oleh investor ialah kepemilikan saham. Bagi investor, investasi merupakan aktivitas yang menarik untuk dilakukan karena adanya pengembalian (return) investasi yang sesuai dengan apa yang telah diinvestasikannya.

Return saham merupakan hasil yang diperoleh dari investasi. Menurut Jogiyanto (2000:107), return saham dibedakan menjadi dua yaitu return realisasi (realized return) dan return ekspektasi (expected return). Return realisasi merupakan return yang sudah terjadi dan dihitung berdasarkan data historis. Return realisasi ini penting dalam mengukur kinerja perusahaan dan sebagai dasar penentuan return dan risiko dimasa mendatang. Return ekspektasi merupakan

return yang diharapkan akan diperoleh di masa mendatang dan masih bersifat tidak pasti.

Fenomena yang terjadi di Indonesia terkait dengan return saham ialah terjadinya peningkatan dan penurunan tingkat return saham dari tauhun ke tahun.

PERSENTASE RETURN SAHAM SEKTOR INFRASTRUKTUR, UTILITAS, DAN TRANSPORTASI TAHUN 2010-2016 

Pada tahun 2011, tingkat return saham mengalami penurunan yang cukup signifikan sebesar -2,97 dibandingkan tahun 2010 sebesar 17,37. Pada tahun 2012 kembali terjadi peningkatan return saham yang diperoleh sebesar 14,00 meski tidak melampaui tingkat return saham pada tahun 2010. Pada tahun 2013 tingkat return saham mengalami penurunan kembali sebesar 7,18 dan naik pada tahun 2014 sebesar 20,32. Namun, penurunan yang cukup drastis terjadi pada tahun 2015 dimana tingkat return saham yang diperoleh sebesar -16,13 dan kembali mengalami peningkatan return saham yang signifikan pada tahun 2016 yaitu sebesar 18,38. 

Penurunan tingkat return saham yang cukup signifikan di tahun 2011 dan 2015 mengindikasikan bahwa pada tahun tersebut, tingkat return saham yang diterima oleh investor tidak sesuai atau sebanding dengan apa yang telah diinvestasikan dan ini merupakan sinyal negatif bagi investor untuk berinvestasi. Peningkatan tingkat return saham yang cukup signifikan di tahun 2012 dan 2016 mengindikasikan bahwa pada tahun tersebut, tingkat return saham yang diterima investor sesuai atau sebanding dengan apa yang diinvestasikan dan ini merupakan sinyal positif bagi investor untuk berinvestasi.

Berdasarkan fenomena tersebut, signalling theory menjelaskan bahwa segala informasi yang diperoleh dari perusahaan merupakan suatu sinyal atau petunjuk yang dijadikan sebagai bahan pengambilan keputusan investasi oleh para investor (Suwardjono, 2005). 

Investor dalam hal berinvestasi tentu menginginkan tingkat return saham yang tinggi atau sesuai dengan apa yang diinvestasikannya. Hal yang perlu dilakukan investor dalam menentukan perusahaan mana yang mampu memberikan tingkat return saham sebanding atau sesuai dengan apa yang telah diinvestasikannya, maka investor perlu melakukan analisis saham. Menurut Handara dan Purbawangsa (2017), analisis saham dikenal dengan dua teknik analisis yaitu analisis fundamental dan analisis teknikal. 

Pada penelitian ini, teknik analisis yang digunakan ialah analisis fundamental melalui analisis perusahaan dengan alasan analisis fundamental membantu investor untuk mengetahui kondisi fundamental investasi pada saham tertentu.

Analisis perusahaan didalam analisis fundamental berfokus pada data fundamental yaitu laporan keuangan perusahaan yang dianalisa dengan menggunakan rasio keuangan (Handara dan Purbawangsa, 2017). Tujuannya ialah agar investor mendapat gambaran bagaimana tingkat profitabilitas dan tingkat risiko atau tingkat kesehatan suatu perusahaan, sehingga return yang didapat sesuai dengan yang diharapkan. 

Rasio keuangan yang digunakan pada penelitian ini ialah rasio profitabilitas, rasio solvabilitas, dan rasio penilaian pasar. Alasan menggunakan ketiga rasio keuangan tersebut ialah karena rasio – rasio tersebut mampu mewakili rasio lain dan dapat dijadikan sebagai sudut pandang bagi investor untuk mendapat gambaran mengenai seberapa besar pemanfaatan aset yang dilakukan oleh perusahaan dalam menghasilkan laba, seberapa besar tingkat risiko yang dimiliki perusahaan dan berasal darimana sumber pendanaan yang digunakan perusahaan untuk melunasi hutangnya, serta seberapa besar pengaruh reaksi pasar terhadap perusahaan sehingga mampu menjadi bahan pertimbangan bagi investor untuk berinvestasi atau tidak (Parwati dan Sudiartha, 2016).

Rasio profitabilitas dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan dua proksi yaitu return on assets (ROA) dan earnings per share (EPS). Return on assets (ROA) merupakan rasio yang menunjukkan seberapa besar kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba bersih yang diukur dengan nilai aset. 

ROA  mampu mempengaruhi return saham dimana semakin tinggi nilai ROA, maka semakin tinggi return saham yang diterima oleh investor. Berdasarkan signalling theory, perusahaan yang memiliki nilai ROA tinggi akan menjadi incaran bagi para investor dikarenakan perusahaan mampu memperoleh keuntungan yang diukur dengan nilai aset yang tinggi. Bagi para investor, aset yang dimaksud sebenarnya ialah investasi yang ditanamkan pada perusahaan sehingga apabila perusahaan mampu memperoleh keuntungan yang sesuai dengan tingkat investasi yang ditanamkan, maka hal ini merupakan sinyal yang baik bagi investor untuk berinvestasi.

Penelitian terdahulu mengenai rasio profitabilitas (ROA) terhadap return saham yaitu penelitian oleh Nugraha dan Mertha (2016) bahwa ROA berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham. Pernyataan tersebut didukung dengan hasil penelitian Parwati dan Sudiartha (2016), Saputra dan Dharmadiaksa (2016), serta Raningsih dan Putra (2014). Namun, penelitian yang dilakukan oleh Sudarsono dan Sudiyatno (2016) menyatakan bahwa ROA berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap return saham. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Purnamaningsih dan Wirawati (2014) bahwa ROA tidak berpengaruh positif signifikan terhadap return saham.

Earnings per share (EPS) merupakan rasio yang menunjukkan berapa besar kemampuan per lembar saham dalam menghasilkan laba. EPS mampu mempengaruhi return saham dimana semakin tinggi nilai EPS suatu perusahaan, maka semakin tinggi return saham yang akan diterima oleh investor. Berdasarkan signalling theory, perusahaan yang memiliki nilai EPS tinggi menunjukkan bahwa perusahaan tersebut mengalami pertumbuhan kinerja yang sangat baik yang disebabkan oleh adanya kemampuan manajemen perusahaan dalam menciptakan nilai pasarnya diatas biaya investasi. Artinya, perusahaan dengan EPS tinggi tentu mampu menghasilkan laba per lembar saham dengan nilai yang sangat tinggi. Hal tersebut tentu akan menarik minat investor untuk berinvestasi dan ini merupakan sinyal positif bagi investor, mengingat tingkat return saham yang akan diterimanya juga akan meningkat atau sesuai dengan apa yang diinvestasikannya.

Penelitian terdahulu mengenai rasio profitabilitas (EPS) terhadap return saham yaitu penelitian Handara dan Purbawangsa (2017) bahwa EPS berpengaruh positif dan signifikan terhadap return saham. Pernyataan tersebut didukung dengan hasil penelitian Hidayat dan Isroah (2016). Namun, penelitian yang dilakukan oleh Aisah dan Mandala (2016) bahwa EPS berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham. Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Suarjaya dan Rahyuda (2013) bahwa EPS tidak berpengaruh secara signifikan terhadap return saham.

Rasio solvabilitas pada penelitian ini diukur dengan menggunakan salah satu proksi yaitu debt to equity ratio (DER), merupakan rasio yang menunjukkan seberapa besar perusahaan mampu menggambarkan modal yang dimiliki untuk menutupi hutang kepada pihak ketiga. DER mampu mempengaruhi return saham dimana semakin tinggi nilai DER yang dimiliki perusahaan, maka semakin rendah tingkat return saham yang diterima oleh investor. Berdasarkan signalling theory, perusahaan yang memiliki tingkat hutang yang tinggi dibandingkan dengan modal yang dimiliki maka dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut memiliki tingkat beban hutang yang tinggi dan cenderung menekan profit yang akan diterimanya, sehingga terjadilah penurunan laba yang diterima oleh perusahaan. Kondisi laba yang menurun atau bahkan mendekati kerugian akan menjadi sinyal negatif bagi para investor untuk berinvestasi dikarenakan tingkat return saham yang diterima kemungkinan besar tidak akan sesuai dengan yang diharapkan.

Penelitian terdahulu mengenai rasio solvabilitas (DER) terhadap return saham yaitu penelitian oleh Handara dan Purbawangsa (2017) bahwa DER berpengaruh negatif dan signifikan terhadap return saham. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian Parwati dan Sudiartha (2016) serta Abdullah et al (2015). Namun, penelitian yang dilakukan Nirayanti dan Widhiyani (2014) serta Hidayat dan Isroah (2016) menyatakan bahwa DER berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap return saham. Lain halnya dengan hasil penelitian Sudarsono dan Sudiyatno (2016), Raningsih dan Putra (2015), serta Purnamaningsih dan Wirawati (2014) bahwa DER berpengaruh positif signifikan terhadap return saham. Hasil penelitian berbeda dikemukakan oleh Nugraha dan Mertha (2016) bahwa DER tidak berpengaruh terhadap return saham.

Rasio penilaian pasar pada penelitian ini diukur dengan menggunakan salah satu proksi yaitu price earnings ratio (PER), merupakan perbandingan harga pasar per lembar saham dengan laba per lembar saham (sumber). PER mampu mempengaruhi return saham dimana semakin tinggi nilai PER, maka semakin tinggi tingkat return saham yang diterima oleh investor. Berdasarkan signalling theory, perusahaan yang memiliki pengaruh reaksi pasar terhadap kondisi keuangan perusahaan dimana profit dan harga saham perusahaan yang dimiliki konstan atau mengalami peningkatan yang cukup signifikan, maka pengembalian investasi yang diterima oleh investor dapat dikatakan akan sesuai atau layak dengan apa yang telah diinvestasikan sehingga kondisi seperti ini merupakan sinyal positif bagi pihak investor untuk berinvestasi.

Posting Komentar untuk "PERSENTASE RETURN SAHAM SEKTOR INFRASTRUKTUR, UTILITAS, DAN TRANSPORTASI TAHUN 2010-2016"